SD NEGERI NO. 173458 PULOGODANG

Tahun 1979 adalah permulaan saya menginjak dunia sekolah, yang pada saat itu saya sangat tidak setuju disekolahkan. Kala itu saya sangat menikmati bermain di pematang sawah, atau sekalian bercebur bermain lumpur di tengah sawah yang sedang digarap oleh Ibu saya dan kakak perempuan saya yang nomor 3. Bahkan terkadang rame-rame dengan orang sekampung lainnya bersama-sama mengolah sawah secara bwergiliran atau lajim disebut waktu itu marsirippa.
Ayah saya tidak bisa ikut ke sawah karena menderita sejenis penyakit yang langka waktu itu, mungkin jaman sekarang itu disebut penyakit diabet. Sehingga ayah menekuni kegiatan2 lain selain turun ke swah. Jadi tukang pangkas, atau jadi tukang bangunan, kala itu semua bangunan (rumah) di kampung saya terbuat dari kayu dan atau bambu.
Di luar dugaan saya, ayah mendaftarkan saya ke sekolah satu-satunya SD di kampung saya. Dan abang saya (anak dari abangnya ayah saya) pagi itu datang ke rumah. Tumben pikirku"songon na so hea" begitulah kira2 saya membatin. Namun dalam hati saya senang dia datang ke rumah kami. Dan dia menawarkan untuk menggendong saya (belakangan saya tahu itu strategi ayah saya supaya saya mau sekuolah). Dia pun menggendong saya, ke mana arah tujuannya saya tidak begitu perduli, karena rasanya digendong sepertinya asyik. Dan sesampai di depan sekolah, saya diturunkan dari punggungnya, dan dibawa ke kentor guru-guru, dan seakan disambut di sana, guru-guru SD waktu itu (yg notabene masih saudara dengan kami) sontak serentak tertawa dan kelihatannya senang dengan kehadiran saya di situ.
Setelah disuruh pegang kuping kiri dengan tangan kanan dengan tangan lurus dari atas kepala, guru itu menyatakan saya lulus masuk kelas satu, dan mulailah saya menjadi murid SD waktu itu. Dengan bekal sebuah buku tulis dan sebuah pensilyang sudah diraut oleh ayah saya, saya ditunutn masuk ke ruangan kelas satu oelh abang saya yang menggendong dari rumah, cuman sekarang tidak lagi digendong tapi disuruh jalan, malas ketika itu menghinggapi diri saya, tapi saya ikuti saja dia ke dalam ruangan, di sana teman2 saya sudah banyak dan duduk di bangku masing2. Hampir semua mereka saya kenal, karena sudah sering ketemu di gereja, waktu sekolah Minggu di tiap-tiap hari Minggu.


 Hari pertama sekolahku yang sangat membosankan.

Hari kedua mulai kunikmati, dan sesama teman semakin akrab, dan semakin hari semakin betah dan bertahan, bahkan jika saya disuruh tidak masuk ke sekolah dengan alasan jaga padi, atau jemur padi, saya sudah tidak mau lagi, pokoknya yang penting sekolah.

Begitulah sekelumit keberadaan saya di SD Negeri Pulogodang, guru-gurunya saya ingat adalah, di
kelas I, M. Manullang (par Hutattinggi),
kelas II, P. Manullang (par Lumban Baringin)
kelas III, P. Malau (par Lumban Baringin)
kelas IV, kembali ke M. Manullang (par Hutatinggi)
kelas V, S. Malau (par Hutaraja)
kelas VI, J. Simanullang (par Panggugunan)
Kepala Sekolah, S.. Barasa (par Hutaraja)
Guru Agama, O. Simanullang (par Banuarea)
Guru Agama, A. Sihotang (par Doloknabolon)
Guru Olah Raga, A. Purba (par Pusuk)

























SD Negeri No.173468 Pulogodang

Begitu saya memasuki halaman sekolah itu, hatiku berontak dan ingin kembali ke rumah. saya lebih nyaman bermain lumpur di sawah bersama Ibu dan kakak perempuanku yang nomor dua. pokoknya dalam pikiran saya waktu itu idak perlu sekolah, toh tanpa sekolah saya sudah bisa membaca.

Pagi-pagi benar Abang (anaknya Bapatua) yang kala itu mungkin kelas 3 atau kelas 4 kurang jelas ingatanku tentang itu, dia menggendong saya dan tidak bilang mau dibawa ke sekolah. Ternyata Bapak saya diam-diam sudah mendaftarkan saya ke sekolah itu, dan beliaulah yang menyuruh abang saya untuk datang ke rumah pagi-pagi buta dan membujuk saya supaya mau digendong, dan alhasil saya digendong dan sampailah di sekolah yaitu SD Negeri No, 17368 Pulogodang.

Hari pertama sekolahku kulalui dengan perasaan bosan yang sangat, bel berbunyi dan serta merta seluruh murid berteriak"less" yg belakangan saya tahu bahwa bunyi bel itu pertanda pergantian mata pelajaran atau yang lajim disebut saat itu pergantian les. Kemudian bunyi lagi bel berikutnya, dengan bunyi agak panjang, dan murid2 kelas dua berhamburan keluar kelas, dan kami murid kelas satu kebanyakan bengong, untung ada murid yg tinggal kelas dan mengajak kami untuk keluar kelas untuk reses (jam istirahat) karena pada saat itu guru kami munbgkin ada urusan dan meninggalkan kelas sebelum bunyi bel. dan dengan penjelasan teman sekelas kami yg tinggal kelaas tersebut, kamipun berhamburan keluar dari ruangan kelas dengan hati yang riang gembira, termasuk saya sangat senang karena sudah memendam kebosanan dari pagi.

dealam jam istirahat (istilah kami waktu itu reses), kami berlarian ke sana ke mari, bebas, riang, senang dan hal itulah yang pertama mambuat saya betah di sekolah, dan untuk selanjutnya di hari-hari berikutnya, saya bahkan tidak mau lagi disuruh bolos sekolah untuk menjemur padi atau ikut ke ladang, pokoknya dunia baru saya di sekolah benar-benar saya nikmati dan seakan saya tidak mau diusik dari dunia baru saya tersebut.


Rapat Tikus




Suatu masa, ketika kehidupan para tikus-tikus pengerat padi petani semakin terdesak oleh ancaman Kucing yang saban hari menerkam mereka begitu keluar dari lubang persembunyiannya, diadakanlah rapat raksasa yang dihadiri oleh seluruh tikus-tikus yang ada di kawasan itu.
Tikus paling senior memimpin rapat raksasa itu, dia dituakan karena dianggap paling berpengalaman mencuri padi petani dan menghindar dari perangkap petani pun selalu lolos dari sergapan kucing besar milik petani itu.
Tikus paling senior membuka rapat dengan suara menggelegar yang bisa menciutkan nyali para tikus2 lainnya.
"Saudara-saudari sekalian. Akhir2 ini kehidupan kita semakin terancam, hampir tiap hari dari penduduk kita diterkam oleh kucing maha besar, satu per satu dari kita akan musnah". Semua tikus terdiam, dengan gemetaran mendengar suara sang tikus senior.
kemudian dia melanjutkan,"untuk itu, mari kita mencari jalan keluar agar terhindar dari mala petaka ini, jika ada yang mau memberi masukan silahkan tunjuk tangan".
suasana rapat hening, tidak ada yang berani tunjuk tangan, kemudian tikus senior berteriak lantang"silahkan beri masukan, ayo tunjukkan keberanianmu menghadapi masalah ini!"
Lalu seekor tikus tunjuk tangan, denganterbata-bata menguraikan usulannya, "menurut saya, harus ada tikus yang berjaga di atas lubang pintu keluar sarang kita, jika kucingnya pergi barulah kita keluar mencuri padi petani itu", disambut tepuk tangan gempita para tikus, pettanda setuju.
Lalu tikus senior berkata""bagus usulan mu, dan siapa yang berani berjaga di atas lubang pintu itu?", semua tikus terdiam, tidak ada yang berani.
Hening bebarapa lama, tikus senior angkat bicara lagi, "karena tidak ada yang berani, maka usulan itu dibatalkan, ada pendapat lain?"
seekor tikus kurus angkat tangan dan berkata"mungkin lebih bagus kita buat sebuah lonceng, lalu kita kalungkan ke leher kucing. kemanapun dia pergi, kita akan tahu, karena lonceng yang di lehernya akan bunyi", disambut dengan tepuk tangan gempita oleh para tikus-tikus itu.
Tikus senior mengambil alih pembicaraan,"bagus, bagus usulannya, sekarang siapa yang berani mengalungkan lonceng itu di leher kucing?", semua tikus terdiam, bahkan tidak jarang yang gemetaran.
Demikian lah beberapa usulan para tikus, semua disambut dengan tepuk tangan gempita, tetapi selalu kandas di tingkat eksekusi keputusan rapat. Hingga sekarang, tikus-tikus pengerat padi petani masih berada di lubangnya dan selalu mencuri hasil pertanian, dan sesekali kawanan tikus diterkam kucing.
Keputusan rapat selalu ada, eksekusi hasil keputusan tidak kunjung terealisasi.